Denpasar-Bali, (5 Juli 2023) Lomba Baca Kitab Kuning Kemenag Provinsi Bali di kabupaten Jembrana-Bali. Setelah saya membuka aplikasi WhatsApp dari group dosen STAI Denpasar yang mengabarkan bahwa sejumlah dosen STAI Denpasar didapuk sebagai dewan juri baca kitab kuning tingkat provinsi Bali, tergerak hatiku membuka buku. Dalam buku, Guruku Orang-orang Pesantren (1974) , KH Syaifuddin Zuhri menjelaskan posisi dan wawasan geo-politik santri-kiai sebagai ideologi dari sudut pendekatan syuyukhiyah adalah: “Para santri adalah anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka-dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup rakyat. Santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup (Red: di hadapan dirinya),” (Ahmad Baso, 2015: 337).
Kalau boleh saya lancang menyebut sahabat-sahabat yang menjadi juri itu sebut saja kiai. Sebutan kiai sudah populer di kalangan organisasi NU. Dalam buku Antologi NU disebutkan bahwa kiai di lingkungan pondok pesantren berarti sarjana muslim, atau personifikasi orang yang menguasai ilmu agama dalam bidang tauhid, fiqh, dan sekaligus seorang ahli tasawuf. Tidak jauh beda dengan makna ulama. Kiai merupakan unsur yang paling esensial dari suatu pesantren. Lazimnya pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiainya. Atas dasar itu, saya sangat mengapresiasi semua dari mereka itu dengan berbagai aktivitasnya selama ini di masyarakat.
Disebutkan juga bahwa sifat-sifat yang dimiliki seorang kiai antara lain: ilmunya tinggi, zuhud dan qanaah, ikhlas, tawakal, rasa sosialnya tinggi, dan punya kesanggupan menegakkan kebenaran. Berangkat dari kitab kuning, sebutan untuk kitab-kitab berhuruf Arab yang biasa dipakai di lingkungan pondok pesantren. Dinamakan kitab kuning karena kebanyakan kertas yang dipakai berwarna kuning (atau mungkin juga karena sudah usang). “Disebut juga kitab gundul karena huruf-huruf yang ada di dalamnya kebanyakan tidak memakai harakat (tanda baca), yang biasa disebut gundul. Untuk bisa membacanya dibutuhkan keahlian tersendiri dengan kematangan ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah,” begitu penjelasan buku Antologi NU itu.
“Biasanya penggunaan kitab itu dengan cara memberikan makna dalam bahasa setempat, yang ditulis di bawahnya secara miring dengan menggunakan huruf Arab pegon. Makna yang seperti itu lazin disebut dengan makna jenggot karena bentuknya menggantung seperti jenggot,” tulis A. Ma’ruf Asrori sebagai editor buku. Jenis kitab kuning yang berkualitas dan berharga mahal dikenal dengan jenis Beirut yang merupakan hasil impor dari Libanon. Sedangkan tinda yang biasa dipakai memberi makna adalah tinta Cina yang berbentuk batangan, setelah dihancurkan dan dicampur dengan air dan serat pohon pisang,” demikian tulis buku terbitan Tim Khalista itu.
Jadi pada kesempatan ini saya mengapresiasi kegiatan para dosen STAI Denpasar itu, mereka para kiai, ulama, sekaligus ilmuan yang terus bersenggama dengan keilmuan pesantrennya. Dengan harapan keilmuan pesantren dapat menjadi daya pijak yang kuat dalam mewujudkan bangsa bermarwah dan berharkat … SELAMAT!