Sivitas STAI Denpasar Bali, dan seluruh warga yayasan Al-Ma’ruf, Denpasar dengan sejumlah kelembagaan PAUD, Dasar, dan Menengah, sebagai lembaga pendidikan yang dari waktu ke waktu berkembang seperti sekarang ini, sudah barang tentu telah mengenal bank. Ia sebagai mitra atau tempat menabung atau menyimpan uang. Tentu, hal itu juga sebagai bagian dari savety sytem keuangan itu sendiri. Selain itu, untuk memperkuat eksistensi Prodi Ekonomi Syariah yang dimiliki STAI Denpasar, maka pertalian STAI Denpasar Bali dengan bank menjadi penting. Karena hubungan tersebut sebagai media korelasi akademik, baik terkait dengan system manajemen keuangan internal maupun kegiatan program akademik Pelatihan Lapangan (PPL) yang wajib dilaksanakan, khususnya Prodi Ekonomi Syariah.
Pada 5 Juli 1953 − 5 Juli 2023, pemerintah telah menetapkan tanggal tersebut sebagai tanggal lahirnya Bank Indonesia. Segenap sivitas akademika STAI Denpasar saat sedang mengadakan rapat terbatas di sela-sela alur pembahasan materi rapat, mengucapkan selamat kepada Bank Indonesia (BI), semoga tetap jaya dan tetap kokoh sepanjang masa untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penopang ekonomi suatu bangsa tentu tidak pernah lepas dengan yang namanya Bank. Ini menarik dan mungkin dapat diapresiasi berdasarkan ruang lingkup sejarah uang di Indonesia. Kini, di beberapa catatan kalender daerah, nasional, dan pada buku-buku catatan harian, ada bagian lembarnya tertulis: 5 Juli diperingati sebagai peringatan ‘Hari Bank Nasional’, sebagai sistem aplikasi administrasi keuangan nasional. Mari kita lihat bagian dari perjalanan bangsa dalam historical perspective?
Kilas balik sejarah uang, sebelum manusia mengenal uang sebagai alat tukar komoditas perdagangan, manusia melakukan perdagangan dengan cara barter. Cara semacam itu berjalan berabad-abad lamanya hingga 6000 tahun S.M. Sealur waktu dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan, maka manusia mulai membuat rekayasa dagang dengan cara memakai alat tukar komoditas perdagangan dengan koin emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya.
Sejarah uang nusantara dapat ditelusuri antara lain: Pertama, pada saat kekuasaan dinasti Syailendra (abad 9 s/d 12) dengan koin emas dan perak. Kedua, pada kerajaan Sriwijaya, dengan untaian manik-manik, dan ketiga pada kerajaan Majapahid pada abad 13, bersamaan kedatangan bangsa Cina memakai koin tembaga.
Jauh hari kemudian, Japan menginvasi kekuasaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1942, dalam melakukan transaksi perdagangan menggunakan local golden dan beberapa saat kemudian melikuidasi bank-bank termasuk De Javasche Bank dan menggantinya dengan Japansche Regeering yang disertai mencetak uang berlebihan sehingga mengalami hiperinflasi. Dampaknya adalah pada tahun 1944 koloni Japan di Indonesia mencetak uang dengan memakai bahasa Indonesia yang dipergunakan sebagai nilai tukar hingga tahun 1946. Bersamaan itu pula, berakhir pemakaian uang tersebut, setelah pemerintah Indonesia mampu mencetak uang sendiri.
Sejarah terus berjalan sealur waktu. Sementara uang tetaplah alat transaksi yang setiap saat dapat berubah tanpa arti. Bersamaan akhir perang sekutu 1943, NICA kembali ke Indonesia dengan mengedarkan uang NICA sendiri. Wilayah sebaran uang itu di Kalimantan, Sumatera, Indonesia bagian Timur. Saat uang NICA beredar di Jawa Soekarno mengeluarkan dekrit pada 2 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa uang kertas NICA ilegal.
Politik alat tukar berupa uang yang dilancarkan Soekarno membuahkan hasil. Tumbuhnya kekuatan baru membulatkan semangat dan tekat perjuangan bangsa pada awal kemerdekaan Indonesia. Pada 30 Oktober 1945, Indonesia menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang ditanda tangani oleh A.A. Maramis, Menteri Keuangan yang menduduki jabatan dari 26 September-14 November 1945. ORI mempunyai ciri khusus gambar keris dan tulisan teks Undang-undang Dasar 1945. ORI emisi 1 terbit 8 seri: 1 sen; 2,5 sen; 10 sen; setengah rupiah; 1 Rupiah; 5 Rupiah, 10 Rupiah, dan 100 Rupiah.
Karena masih gawatnya serangan-serangan sporadis pihak NICA yang diboncengi Belanda yang berada di mana-mana, maka peredaran uang tersebut tidak efektif dan baru setahun kemudian, 30 Oktober 1946 dapat beredar meski belum merata di kawasan Nusantara.
Konstalasi revolusi yang belum kondusif saat itu, maka pemerintah Indonesia menginisiasi diterbitkannya Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA) dengan tujuan untuk memudahkan semua urusan transaksi perdagangan inlander. Pada 1 Januari 1950 Menteri Keuangan Sjafuddin Prawira Negara mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang pembayaran sah uang Federal. Namun hal itu tidaklah berjalan lama. Seiring kembalinya Negara Indonesia Serikat menjadi NKRI pada 17 Agustus 1950.
Perubahan terus berjalan pada bulan Desember 1950 De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Selanjutnya pemerintah Indonesia menerbitkan uang kertas dan logam di bawah 5 Rupiah. Kemudian, BI menerbitkan uang kertas pecahan 5 Rupiah ke atas. Untuk memperkuat system keuangan Negara, pada tahun 1952 – 1953 BI mulai meretas uang kertas baru mulai dari 1 Rupiah sampai 100 Rupiah.
Sesuai dengan berlakunya Undang-Undang pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 5 Juli 1953 diperingati lahirnya Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank. Menyimak dan mencermati perjalanan titian sejarah di atas. Jelas bahwa uang hanya sebagai alat tukar perdagangan. Uang jika berhadapan dengan komoditas itu, posisi uang tidaklah memiliki kegunaan intrinsic. Tidak bisa digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia. Uang tidaklah memiliki nilai waktu. Tetapi waktulah yang memiliki nilai ekonomi tergantung bagaimana cara penggunaannya. Dan … bagaimana selanjutnya?